Beliau adalah Yahya bin
Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau
dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah
Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh
ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar
di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran
sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh
tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh
teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan
tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang
paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar
kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di
Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah
thalabul ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan
oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah didekat
Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama.
Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali
dan menghafal banyak hal. Iapun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia
berkata : “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya,baik penjelasan
kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah
memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Diantara syaikh beliau:
Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy,
Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul
Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj
Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy,Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil
Hadi.
Pada tahun 651 H ia
menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan
menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun
665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk
mengambil gaji.
Beliau digelari
Muhyiddin ( yang menghidupkan agama ) dan membenci gelar ini karena tawadhu’
beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak
memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang
yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata
:”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin”.
Imam An-Nawawi adalah
seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan
berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak
tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam.
Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus
sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk
menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan
berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata:
”Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan
tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa !?” Beliau menjawab: ”Karena
berisi kedhaliman yang nyata”. Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari
semua jabatannya”. Para pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama
sekali. Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa
tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun
menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya”.
Imam Nawawi meninggalkan
banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab,
diantaranya:
Dalam
bidang hadits : Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al- Minhaj (Syarah Shahih Muslim),
At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
Dalam
bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
Dalam
bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
Dalam
bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal
secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali
untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian
keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H
-rahimahullah wa ghafarahu-.
ADS HERE !!!