Pertama kali saya bertemu
dengan pemuda ini, dulu.. sangat dulu sekali, kurang lebih tahun 2000-an,
digubug yang sangat bersahaja, pondok pesantren yang berderet dengan beberapa
komplek, ada ribuan santri putra dan putri yang tiap hari ngangsu kawruh disana,
dengan bimbingan pengasuh, guru kami Alm KH A. Syahid. Anehnya pesanteren ini
dulunya waktu simbah yai masih sugeng, tidak ada papan nama/ Bord Of Plank,
bahkan tidak ada nama pesantren, orang-orang menyebutnya “Pondok kemadu”
pesantren yang ada didesa Kemadu, kemudian setelah beberapa tahun simbah yai
kapundut atas usulan beberapa pengurus pesantren ini diberi nama Pesantren
Al-Hamdulillah.
Iyaa.. Mbah Syahid, begitu
orang menyebutnya.. atau beberapa orang menyebutnya Kiai Al Hamdulillah, bagi
kami sebenarnya sangat kecil, jika kami menyebutkan santri beliau ini. Kami dan
beliau sangat devergen, senjang yang sangat jauh. baik keilmuan, ahlaaqul
karimah, haibah yang sangat tinggi, berkarisma, dan berdasarkan penuturan
orang-orang yang pernah sowan kepada beliau, begitu melihat wajah beliu maka
semua sumpek hilang, apalagi ketika beliau ucapkan kalimah “Al hamdulillâh..”
Pasal orang-orang menyebutnya
Kiai Al Hamdulillah, karena pada setiap sela-sela tutur sapanya, selalu
diselingi kalimah Al Hamdulillaah, dulu kami sempat berfikir ketika sowan
pertama kali ke-dhalem. Ada tamu menceritakan keburukan, beliau baca “Al
hamdulillaah”, ada tamu cerita berita senang beliau baca “Al Hamdulillah”,
bahkan ada tamu yang minta didoakan agar anak perempuannya cepet dapat jodoh
karena sudah tua “Pra-one tua” sekalipun beliau juga baca kalimah “Al
hamdulillâh..”
“Al Hamdulillâh…, ‘alâ kulli hâl” ternyata
itu yang beliau amalkan - yaitu merasa bersyukur kepada Allah dalam segala
keadaan.
Saya juga pernah baca, postingan
dari Gus Yahya Tsaqub, Wakil Suryah PB NU KH. Yahya Cholil Staquf pada FP-nya
“Terong Gosong” seklumit tentang beliau.
Atau juga pernah dituliskan oleh
Gus Mus, dalam WEB beliau www.Gusmus.net
“Setiap
kiai mempunyai semacam dzikir unggulan yang selau mewarnai kalimat-kalimat yang
diucapkannya. Ayah saya, al-Maghfur lah KH Bisri Mustofa, misalnya, dalam
setiap pembicaraannya sehari-hari tak pernah sepi dari ucapan Laa ilaaha
illallah. Ada kiai yang sebentar-sebentar mengucap Subhanallah; ada yang Astaghfirullah;
Laa haulaa walaa quwwata illa billah; dsb. Kiai Ahmad Syahid Kemadu lain lagi.
Begitu seringnya menyebut Alhamdulillah,sampai-sampai ada yang menjulukinya
Kiai Alhamdulillah dan menjuluki pesantrennya dengan Pesantren Alhamdulillah”
Begitu sedikit kutipan Gus Mus
tentang beliau. yang paling mengesankan ketika
disana bagi saya ketika masak bareng pada tiap kelompok, saya ingat betul dulu
orang tua saya, ketika saya mondok disana, tiap kali pulang sebulan sekali,
saya dikasih sangu 10Kg beras dan uang seratus ribu, bagi kami seratus ribu
sudah sangat cukup pada waktu itu. Kami disana tidak lama menurut ukuran santri
mondok, iyaa.. sekitar kurang lebih empat tahunan.
Kami sebenarnya ingin banyak
cerita, tapi saya khawatir memori yang saya dapat lebih tebal dari pada ilmu
kami, meskipun memang kami juga tidak tebal atau banyak dalam keilmuan.
Demikian cerita kami awal
bertemu pemuda tersebut, wal afwu minkum… semoga bermanfaat!
ADS HERE !!!