Telah dibuktikan didalam kitab-kitab para Imam,
sebagaimana perkara yang disebutkan oleh para Imam seperti diatas walaupun ada
perkara yang telah dikatakan sebagai bid’ah namun perlu diingat bahwa para imam
tidak serta merta menjatuhkannya pada status hukum haram, seperti perkataan
mereka yakni “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh, bukan haram)”, juga
“bid’ah ghairu mustahibbah (bid’ah yang tidak dianjurkan)” maka ini status
hukumnya jatuh antara mubah dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah munkarah yang
hukumnya makruh, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perbuatan seperti diatas
tidaklah haram (berdosa) walaupun semisalnya dilakukan. Juga tidak bisa
dijadikan “dalih” mengharamkan tahlilan, sama sekali tidak ada benang merahnya.
Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum
haram ? Sebab bid’ah bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah
istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi
Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib, sunnah
(mandub), mubah, makruh dan haram. Ini adalah bahasan tentang status hukum dan
penetapannya.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama
dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum
haram untuk bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji
terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya
dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan
status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib,
sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus
ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-jelas sunnah Rasulullah, tidak
serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan situasinya. Oleh karena itu
bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam menetapkan hukum :
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh,
maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya
makruh)” ; Jika masuk pada kaidah
penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah
muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan
menyebutnya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)” ; Jika masuk
pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya
sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya
sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.
Sebagaimana Imam an-Nawawi
menyebutkan didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :
قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة
ومكروهة ومباحة فمن الواجبة نظم أدلة المتكلمين للرد على الملاحدة والمبتدعين وشبه
ذلك ومن المندوبة تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والربط وغير ذلك ومن المباح التبسط
في ألوان الأطعمة وغير ذلك والحرام والمكروه ظاهران وقد أوضحت المسألة بأدلتها المبسوطة
في تهذيب الأسماء واللغات
“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5
bagian (bagian hukum) yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang
mandub), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan
mubahah (bid’ah yang mubah)”, diantara bid’abh yang wajib adalah penyusunan dalil oleh ulama mutakallimin
(ahli kalam) untuk membantah orang-orang atheis, ahli bid’ah dan seumpamanya;
diantara bid’ah mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang kitab ilmu,
membangun madrasah dan tempat ribath serta yang lainnya ; diantara bid’ah yang
mubah adalah mengkreasi macam-macam makanan dan yang lainnya, sedangkan bid’ah
yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah jelas dan telah dijelaskan
permasalahannya dengan dalil yang rinci didalam kitab Tahdzibul Asmaa wal
Lughaat”
Syarah Shahih Muslim Lil-Imam An-Nawawi
[6/154-155].
Berikut adalah redaksi dalam kitab
Tahdzibul Asma’ wal Lughaat, yang menjelaskan lebih rinci lagi tentang
pembagian bid’ah tersebut :
قال الشيخ الإمام المجمع على إمامته وجلالته وتمكنه
في أنواع العلوم وبراعته أبو محمد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي عنه في
آخر كتاب "القواعد": البدعة منقسمة إلى: واجبة، ومحرمة، ومندوبة، ومكروهة،
ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد
الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه فمكروهة،
أو المباح فمباحة، وللبدع الواجبة أمثلة منها: الاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام
الله تعالى وكلام رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وذلك واجب؛ لأن حفظ
الشريعة واجب، ولا يتأتى حفظها إلا بذلك وما لا يتم الواجب إلا به، فهو واجب، الثاني
حفظ غريب الكتاب والسنة في اللغة، الثالث تدوين أصول الدين وأصول الفقه، الرابع الكلام
في الجرح والتعديل، وتمييز الصحيح من السقيم، وقد دلت قواعد الشريعة على أن حفظ الشريعة
فرض كفاية فيما زاد على المتعين ولا يتأتى ذلك إلا بما ذكرناه، وللبدع المحرمة أمثلة
منها: مذاهب القدرية والجبرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة،
وللبدع المندوبة أمثلة منها إحداث الرُبِط والمدارس، وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول،
ومنها التراويح، والكلام في دقائق التصوف، وفي الجدل، ومنها جمع المحافل للاستدلال
إن قصد بذلك وجه الله تعالى. وللبدع المكروهة أمثلة: كزخرفة المساجد، وتزويق المصاحف،
وللبدع المباحة أمثلة: منها المصافحة عقب الصبح والعصر، ومنها: التوسع في اللذيذ من
المآكل، والمشارب، والملابس، والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام. وقد يختلف في
بعض ذلك فيجعله بعض العلماء من البدع المكروهة، ويجعله آخرون من السنن المفعولة في
عهد رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فما بعده، وذلك كالاستعاذة في الصلاة
والبسملة هذا آخر كلامه
“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin
Abdis Salam didalam akhir kitabnya al-Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada
hukum yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Ia berkata : metode yang
demikian untuk memaparkan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syari’ah, sehingga
1.
Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum wajib maka itu bid’ah
wajibah,
2.
Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum haram maka itu bid’ah
muharramah,
3.
Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mandub maka itu bid’ah
mandubah,
4.
Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum makruh maka itu bid’ah
makruhah,
5.
Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mubah maka itu bid’ah
mubahah.
Diantara contohnya masing-masing adalah ;
1.
Bid’ah Wajibah seperti : menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu sehingga
dengannya bisa paham firman-firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu wajib karena menjaga menjaga syariah itu
wajib, dan tidak mungkin menjaga kecuali dengan hal itu, dan sesuatu kewajiban
yang tidak sempurna kecuali dengannya maka itu wajib, menjaga bahasa asing
didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, mencatat (membukukan) ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan
tentang jarh dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah
syariah menunjukkan bahwa menjaga syariah adalah fardlu kifayah”.
2.
Bid’ah Muharramah seperti : aliran (madzhab) al-Qadariyah, al-Jabariyah,
al-Murji’ah, al-Mujassimah, dan membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang
wajib (bid’ah wajibah).
3.
Bid’ah Mandzubah (Bid’ah yang Sunnah) seperti : membangun tempat-tempat
rubath dan madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam,
diantaranya adalah (pelaknasaan) shalat tarawih, perkataan pada detik-detik
tashawuf, dan lain sebagainya.
4.
Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi
mushhaf dan lain sebagainya.
5.
Bid’ah Mubahah seperti : bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat
shubuh dan ‘asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan kediaman. Dan
sungguh telah berselisih pada sebagian yang demikian, sehingga sebagian ‘ulama
ada yang memasukkan pada bagian dari bid’ah yang makruh, sedangkan sebagian
ulama lainnya memasukkan perkara sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam dan setelah beliau, dan itu seperti mengucapkan
isti’adzah didalam shalat dan basmalah. Ini akhir perkataan beliau. “
Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat lil-Imam
an-Nawawi [3/22-23] ; Qawaidul Ahkam lil-Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam [2/
204]
Kesimpulannya sudah jelas yaitu bahwa tidak semua
bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status
hukumnya. Semua itu karena ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan
syariat Islam, diistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ah
yang bertentangan dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk.
al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana disebutkan olah
al-Muhaddits al-Baihaqi :
أخبرنا أبو سعيد بن أبي عمرو، ثنا أبو العباس محمد بن
يعقوب , ثنا الربيع بن سليمان، قال: قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور
ضربان: أحدهما: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا , فهذه لبدعة
الضلالة. والثانية: ما أحدث من الخير لا
خلاف فيه لواحد من هذا , فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر
رمضان: «نعمت البدعة هذه» يعني أنها محدثة لم تكن , وإن كانت فليس فيها رد لما مضى
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’id bin
Abu ‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah
menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i
pernah berkata : perkara baru (muhdatsaat) itu terbagi menjadi menjadi dua
bagian :
1.
Suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’,
maka ini termasuk perkara baru yang disebut bid’ah dlalalah, dan
2.
Suatu perkara baru yang baik yang didalamnya tidak menyelisihi dari
salah satu tersebut, maka ini perkara baru (muhdats) yang tidak buruk,
dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh
berkata tentang shalat pada bulan Ramadhan (shalat Tarawih) : “sebaik-baiknya
bid’ah adalah ini”, yakni perkara
muhdats yang tidak ada sebelumnya, walaupun keberadaannya tidaklah bertentangan
dengan sebelumnya.
Al-Madkhal Ilaa Sunanil Kubraa Lil-Imam
Al-Baihaqi [253] ; Disebutkan Juga Didalam Tahdzibul Asmaa’ Wal Lughaat [3/23]
Contoh-contoh semacam ungkapan (istilah) seperti
diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah
disebutkan. Sehingga menjadi penting ketika membaca perkataan ulama syafi’iyah
juga mengerti pembagian bid’ah menurut ulama syafi’iyah. Perincian Imam
‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam tersebut kadang berbeda dengan ulama madzhab
lainnya, sehingga menyebutnya bukan sebagai bid’ah melainkan sebagai maslahah
Mursalah, perbedaan ini terjadi karena memang cara memahaminya pun berbeda
walaupun esensinya sebenarnya sama yaitu sama-sama para ‘ulama menerimanya.
Perbedaan seperti inilah yang sebenarnya terjadi, bukan seperti kalangan yang
selalu menuding-menuding “ini sesat” dan “itu sesat”, bukan seperti pemahaman
mereka itu.