|
Ilustrasi Image, oleh Syyidfajar.blogspot.com |
1.Jika dilihat dari segi materi ilmiah, maka
riwayat Hafsh adalah riwayat yang relatif mudah dibaca bagi orang yang non Arab
mengingat beberapa hal :
Pertama : tidak banyak bacaan Imalah, kecuali
pada kata : (مجراها ) pada surah Hud. Hal ini berbeda dengan bacaan Syu’bah,
Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amr dan Warsy yang banyak membaca Imalah.
Kedua : tidak ada bacaan Shilah Mim Jama’
sebagaimana apa yang kita lihat pada bacaan Qalun dan Warsy. Bacaan Shilah
membutuhkan kecermatan bagi pembaca, mengingat bacaan ini tidak ada tanda
tertulisnya.
Ketiga : Dalam membaca Mad Muttashil dan
Munfashil, bacaan riwayat Hafsh terutama thariq Syathibiyyah tidak terlalu
panjang sebagaimana bacaan Warsy dan Hamzah yang membutuhkan nafas yang
panjang. Bahkan dalam thariq Thayyibah, yaitu yang melalui jalur ‘Amr bin
ash-Shabbah thariq Zar’an dan al-Fil bacaan Hafsh dalam Mad Munfashil bisa
Qashr (2 harakat).
Keempat : dalam membaca Hamzah baik yang bertemu
dalam satu kalimah atau pada dua kalimah, baik berharakat atau sukun, riwayat
Hafsh cenderung membaca tahqiq yaitu membaca dengan tegas (syiddah) dengan
tekanan suara dan nafas yang kuat, sehingga terkesan kasar. Hal ini berbeda
dengan bacaan Nafi’ melalui riwayat Warsy, Qalun.
Bacaan Abu ‘Amr melalui riwayat ad-Duri dan
as-Susi. Bacaan Ibn Katsir melalui riwayat al-Bazzi dan Qunbul yang banyak
merubah bacaan Hamzah menjadi bacaan yang lunak. Contohnya adalah pada Hamzah
sakinah atau jika ada dua Hamzah bertemu dalam satu kalimah atau dua kalimah.
Imam Hafsh mempunyai bacaan tashil baina baina hanya pada satu tempat saja
yaitu pada kalimat : ( ءأعجمى ) pada surah Fushshilat : 44. Kelima :
Hafsh mempunyai bacaan Isymam hanya pada satu
tempat yaitu pada kata : ( لا تأمنا ) sebagaimana juga bacaan imam lainnya
selain Abu Ja’far.
Keenam: Hafsh mempunyai bacaan Mad Shilah
Qashirah hanya pada kalimat : (ويخلد فيه مهانا ) pada surah al-Furqan: 69. Hal ini
berbeda dengan bacaan Ibn Katsir yang banyak membaca Shilah Ha’ Kinayah.
2.Jika dilihat dari awal kemunculan bacaan ‘Ashim
yaitu di Kufah atau Iraq, secara politis, negeri Kufah (Iraq) adalah negerinya
pengikut Ali (Syi’ah). Bacaan Hafsh juga bermuara kepada sahabat Ali. Kemudian
Negeri Baghdad, dimana Hafsh pernah mengajar disini, adalah Ibukota negara
(Abbasiyyah) pada masa itu, pusat kegiatan ilmiah, sehingga penyebarannya
relatif lebih mudah.
Jika kemudian Hafsh bermukim di Mekah kiblat kaum
Muslimin yang banyak dihuni mukimin dari berbagai penjuru dunia dan mengajar
Al-Qur’an di sini, maka bisa dibayangkan pengaruh bacaannya. Penulis juga
melihat adanya hubungan yang cukup signifikan antara madzhab fikih dan Qira’at.
Sebagai contoh: riwayat Warsy adalah riwayat yang banyak diikuti oleh
masyarakat di Afrika Utara. Di sana madzhab fikih yang banyak dianut adalah
madzhab Maliki.
Masa hidup Imam Malik adalah sama dengan masa
hidup Imam Nafi’. Keduanya di Madinah. Bisa jadi pada saat masyarakat Afrika
Utara berkunjung ke Madinah untuk haji atau lainnya, mereka belajar fikih
kepada Imam Malik dan belajar Qira’atnya kepada Imam Nafi’. Kita tahu bahwa
Hafsh pernah bermukim dan mengajar Al-Qur’an di Mekah. Imam Syafi’i juga hidup
di Mekah. Boleh jadi pada saat hidupnya kedua Imam tersebut kaum Muslimin
memilih madzhab kedua Imam tersebut. Kemudian jika kita melihat sanad bacaan
riwayat Hafsh pada guru-guru dari Indonesia, semisal sanad Kiai Munawwir
Krapyak, akan kita jumpai banyak ulama madzhab Syafi’i pada sanad tersebut,
seperti Zakariyya al-Anshari dan lain sebagainya.
3.Hafsh mempunyai jam mengajar yang demikian
lama, sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Jazari sehingga murid-muridnya
bertebaran di berbagai tempat. Hal ini berbeda dengan Syu’bah yang tidak begitu
lama mengajar.
4.Hafsh dianggap sebagai perawi Imam ‘Ashim yang
demikian piawai dan menguasai terhadap bacaan gurunya. Sebagaimana diketahui
Hafsh adalah murid yang sangat setia pada ‘Ashim. Mengulang bacaan
berkali-kali, dan menyebarkan bacaan ‘Ashim di beberapa negeri dalam rentang
waktu yang demikian lama.
Makki al-Qaisi menyebutkan bahwa ‘Ashim mempunyai
kefashihan membaca yang tinggi, validitas sanadnya juga sangat kuat dan para
perawinya juga tsiqah (sangat dipercaya).
5.Ghanim Qadduri al-Hamd menyebutkan bahwa mushaf
pertama yang di cetak di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M/1106 H, diharakati
dengan bacaan Hafsh yang ada di perpustakaan-perpustakaan di beberapa negeri
Islam. Hal ini mempunyai banyak pengaruh pada masyarakat, dimana mereka
menginginkan adanya mushaf yang sudah dicetak. Para penerbit mushaf di Hamburg
sudah tentu melihat terlebih dahulu kecenderungan masyarakat Islam pada saat
itu.
Bahkan Blacher, seorang orientalis yang cukup
terkemuka dalam bidang studi Al-Qur’an pernah mengatakan :
( ان الجماعة الاسلامية لن تعترف فى المستقبل الا بقراءة حفص عن عاصم )
artinya : kaum Muslimin pada masa yang akan
datang tidak akan menggunakan bacaan Al-Qur’an kecuali dengan riwayat Hafsh
dari ‘Ashim.
Pernyataan Blacher yang pasti didahului oleh
pengamatan yang seksama, jelas menggambarkan kecenderungan masyarakat di dunia
Islam pada saat itu dan pada masa yang akan datang sehingga dia bisa memastikan
hal tersebut.
6.Ghanim Qadduri juga menyebutkan dengan melansir
dari kitab “Tarikh Al-Qur’an” karya Muhammad Thahir Kurdi, bahwa penulis mushaf
yang sangat terkenal pada masa pemerintahan Turki Usmani, adalah al-Hafizh
Usman (w. 1110 H).
Penulis ini sepanjang hidupnya telah menulis
mushaf dengan tangannya sendiri, sebanyak 25 mushaf. Dari mushaf yang
diterbitkan inilah riwayat Hafsh menyebar ke seantero negeri. Penulis melihat
bagaimana hubungan antara keahlian menulis mushaf dengan khat yang indah bisa
menjadi unsur yang cukup signifikan dalam penyebaran satu riwayat. Jika
kemudian pemerintah Turki Usmani mencetak mushaf sendiri, dan menyebarkannya ke
seantero negeri kekuasaannya, maka hal itu akan menambah pesatnya riwayat
Hafsh.
Dari sini penulis melihat adanya hubungan antara
kekuasaan politik dengan penyebaran satu ideologi tertentu. 7.Peranan para
qari’, guru, imam salat, dan radio, kaset, televisi, juga sangat berpengaruh
terhadap penyebaran riwayat Hafsh. Kita tahu bahwa rekaman suara pertama di
dunia Islam adalah suaranya Mahmud Khalil al-Hushari atas inisiatif dari Labib
Sa’id sebagaimana diceritakannya sendiri pada kitabnya “ al-Mushaf al-Murattal
atau al-Jam’ash Shauti al-Awwal”
rekaman
ini dengan riwayat Hafsh thariq asy-Syathibiyyah. Suara yang bagus melalui
teknologi yang canggih ikut memengaruhi satu bacaan.
8.Lebih dari penyebab lahiriah dari penyebaran
riwayat Hafsh, kita tidak boleh melupakan adanya penyebab “maknawiyyah” atau
faktor “berkah” atau bisa kita katakan faktor “x” pada diri Hafsh. Unsur-unsur
spiritual seperti kesalehan, keikhlasan, ketekunan, pengorbanan Hafsh dalam
mengabdi kepada Al-Qur’an ikut menjadi penyebab tersebarnya satu riwayat bahkan
madzhab fikih atau lainnya.
Penutup
Riwayat Hafsh telah menjadi femomena tersendiri
dalam penyebaran satu riwayat dalam Qira’at. Riwayat Hafsh akan terus melebar
dan menyebar ke seantero dunia, bahkan ke negeri-negeri yang menggunakan
riwayat lain seperti Warsy, Qalun, ad-Duri dan lain-lainnya, sesuai dengan
hukum kemasyarakatan. Dengan semakin menyebarnya riwayat ini, kedudukan
Al-Qur’an menjadi semakin kokoh, keorisinilan bacaan Al-Qur’an dan mushaf
Al-Qur’an menjadi semakin meyakinkan.
Meredupnya riwayat lain bukan berarti meredupnya
kemutawatiran satu bacaan. Bacaan-bacaan tersebut masih tetap mutawatir karena
telah diakui oleh para imam-imam Qira’at terdahulu. Nabi sendiri tidak
mewajibkan membaca Al-Qur’an dengan seluruh macam bacaan yang pernah
diajarkannya kepada para sahabat-sahabatnya.
Tapi Nabi hanya menyuruh para sahabatnya untuk
membaca bacaan yang mudah baginya. Dengan demikian Al-Qur’an akan tetap terjaga
kemurniannya sampai akhir zaman nanti. Itu pertanda bahwa Al-Qur’an adalah
Kalamullah.