Tulisan
ini kebanyakan pengambilannya dari tulisan Almarhum Prof. Dr. Hamka,
nama beliau adalah H. Abdul Malik Karim
Amrullah dalam tulisan beliau Perbendaharaan
Lama. Alasan penulis tidak ada yang lain kecuali karena inilah satu-satunya
referensi yang utuh yang dapat penulis jumpai. Selain itu, menulis ulang ini
terasa bernostalgia kembali ke-zaman qurun awal Islam dan mencari dimana
negriku waktu itu. Tulisan ini saya beri judul: Negriku Harapan Agamaku,
Dalam Kejayaannya. Penulis lihat dari fakta sekarang, negara Indonesia-lah
yang memilki jumlah penduduk Islam terbesar di dunia.
Di dalam
catatan sejarah Tiongkok, disebutkan bahwa pada pertengahan qurun ke-tujuh,
terdapat kerajaan yang bernama Holing, dan terdapat negri yang bernama Cho’-po.
Seorang perempuan yang bernama Simo, adalah ratu yang memegang tampuk
kekuasaan di masa itu.
Penulis
sejarah Tiongkok itu juga menyebutkan, bagaimana aman dan makmurnya negri itu,
di bawah perintah penguasa perempuan itu. Tanahnya subur, padinya menjadi.
Upacara kerajaan berjalan lancar. Ratu dijaga, atau di iringkan oleh biti-biti
prawara, kipas bulu merak bersabung kiri-kanan, dan singgasana tempat baginda
bersemayam bersalutkan emas. Keris pusaka dan pedang kerajaan-pun bersalutkan
emas ratna-mutu manikam. Agama yang dipeluk adalah Agama Budha.
Dengan
kerjasama antara I Tsing seorang pengembara Tiongkok dan Jnabradha,
yang dalam bahasa Tiongkok di tulis Yoh Na Poh T’o Lo, disalinlah
buku-buku Agama Budha ke dalam bahasa anak negri.
Tentang
keamanan dan kemakmuran negri Holing itu, oleh pencatat sejarah Tiongkok
dituliskan; sampailah beritanya ke Ta-Cheh, sehingga tertariklah para
pengembara negri Ta-Cheh mengunjungi negri Holing, untuk melakukan
kerja-sama meningkatkan perniagaan antara keduanya.
Di antara
tahun 674-675 Masehi sampailah satu utusan bangsa Ta-Ceh ke Holing.
Kagumlah utusan Ta-Cheh itu, betapa aman negeri Holing di bawah naungan Ratu Simo.
Sehingga pada suatu ketika, Raja Ta-Cheh itu mencoba mencecerkan pundi-pundi
emas, namun tidak ada seorang-pun yang mengambilnya. Tiga tahun lebih emas itu
tetap berada ditempatnya, sampailah putra mahkota kerajaan Holing
ditempat itu, kemudian disepaklah barang pundi-pundi, dan bersimpulah emas dari
dalamnya.
Perbuatan
Putra Mahkota itu rupanya dipandang sebuah kesalahan besar oleh ibunya, Ratu
Simo. Amatlah murka Baginda setelah mengetahui kesalahan putranya. Memberikan
malu bagi kerajaan dimuka orang asing yang datang hendak menyaksikan keamanan dan
kemakmuran negri. Putra Mahkota itu dipandang telah melanggar keluhuran budi.
Oleh
sebab itu, kaki yang menyebak pundi-pundi emas itu wajib wajib dipotong.
Bagaimanapun para menteri membujuk agar Baginda Ratu mengurungkan hukuman itu.
Namun Ratu tidak menginginkan kecuali kaki putra Mahkota dipotong.
Demikianlah,
ceritera yang terekam didalam catatan sejarah Tiongkok, yang menjadi
penyelidikan dari masa kemasa hingga sekarang ini. Hasil penyelidikan
menyatakan bahwa Cho’po adalah Joww, yang sekarang ini pulau Jawa.
Kerajaan Holing adalah kerajaan Kalingga yang oleh beberapa
penyelidik dikatakan pernah berdiri di Jawa Tengah. Ada pula yang
beranggapan di Jawa Timur. Yang berdiri antara qurun ke-tujuh Masehi,
dan memang terdapat Ratu yang bernama Sima atau Simo.
Ta-Cheh adalah Raja Arab, sebab Ta-Cheh adalah
nama yang diberikan oleh orang Tiongkok untuk Bangsa Arab di zaman itu.
Setelah
dilakukan penghitungan, ternyata tahun 674 Masehi adalah 42 tahun
setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Beliau wafat pada kisaran tahun 632 Masehi
atau tahun ke 11 setelah hijrah beliau dari Makkah ke Madinah. Jadi,
tahun 674 adalah bertepatan dengan 51 tahun Hijaratul Musthafa. Dan
khalifah di masa itu adalah Yazid bin Mu’awiyah, khalifah yang ke-dua
dari Bani Umayyah.
Dari masa
ke masa, para peneliti sejarah mencari kecocokan data, mengupayakan ketepatan
potret di zaman itu. Namun tidak mengetahui siapa ‘Raja’ Arab yang datang mencecerkan
pundi-pundi emas ke Holing. Akan tetapi bagi kita yang menyelami tarikh
bangsa Arab, tidak diperbolehkan untuk mengatakan tidak tahu menahu. Sebab Nabi
Muhammad SAW sendiri telah menentukan peraturan; apabila sekelompok musafir
yang melakukan perjalanan jauh, hendaknya mereka merajakan seseorang diantara
mereka yang lebih tua usianya, atau yang lebih banyak ilmunya, atau yang lebih
gagah-berani meski usianya lebih muda, dan yang fasih lisannya terutama ketika
dijadikan seorang imam dalam shalat.
Itulah
kepala rombongan yang disebut di dalam Bahasa Arab, Amir dalam perjalanan
merangkap menjadi imam shalat. Dan Amir itu juga diartikan seorang raja.
Pencatat
sejarah Tiongkok yang lain mengatakan, yang mengembara di tahun 674 itu juga
terdapat di Pesisir barat pulau Sumatra. Telah didapati pula satu kelompok Bangsa
Arab yang membuat kampung di tepi pantai.
Catatan
inilah yang mengubah pandangan orang, tentang sejarah masuknya Agama Islam ke
tanah air kita. Kebanyakan orang berasumsi masuknya Agama Islam di Nusantara
pada abad 11 Masehi, sekarang kita naikkan 4 abad ke-atas, yaitu abad
ke-tujuh Masehi.
Tidak ada
yang tercatat dalam Tarikh Islam, tentang masuknya Islam di Nusantara, sebab
pengembara muslim yang datang ke-Indonesia, bukanlah ekspedisi resmi dari
utusan khalifah di Damaskus atau Baghdad. Selain itu pengebaraannya bukan
seseorang yang menggunakan senjata, melainkan mereka berniaga dan berdagang.
Mereka datang ke tanah air kita dengan suka-rela.
Kerajaan
Hindu-Budha masih begitu kuat dan kokoh; kerajaan Sriwijaya di Sumatra,
kerajaan Kalingga di Jawa, dan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di tempat lain masih sangat kental kekuasaannya.
Oleh sebab itu para pengembara Arab yang datang dibegitu leluasa menyampaikan
dakwah-nya kepada penduduk pribumi. Bahkan ketika mencecerkan pundi-pundi emas
di tengah jalan, tidak ada seorangpun yang berani mengambilnya karena takut
akan murka sang Ratu. Dan sang Ratu tidak ragu-ragu menjatuhkan hukuman memotong
kaki putra Mahkota, ketika mencoba
menyepakkan kaki pundi-pundi emas kepunyaan orang Arab.
Pelajaran
Agama Islam masih sukar diterima, akan tetapi orang Arab atau orang Islam itu masih
tetap meramaikan pelayaran dan perniagaan di Selat Malaka hingga sampai ke
Tiongkok. Di Kanton (daerah Tiongkok) pernah berdiri markas perdagangan orang
Arab. Oleh karena itu, tersebutlah nama pulau-pulau yang terdapat di Negri kita
ini dalam catatan al-Idrisi atau yang masyhur dengan nama al-Qurtubi dan
pencatatn sejarah lain seperti; al-Mas’udi yang mashur Abu al-Hasan Ali ibn al-Husayn ibn Ali
al-Mas'udi. Dan kemudian lebih
jelas lagi oleh tulisan Ibnu Bathutah yang menuliskan satu buku khusus tentang
negri Nusantara.
Di Tambah
lagi belum populernya para pengembara muslim itu, akan tetapi mereka sangat
dihormati karena kebersihannya, mencuci muka sekurang-kurannya 5 kali dan mandi
sekuran-kurannya dua kali. Akan tetapi belum diikuti, karena raja masih
dianggap Tuhan.
Meniliki
sejarah ini, dapatlah kita menentukan arah sejarah masuknya Agama Islam ke
Negri ini sejak qurun abadnya yang pertama. Penulis sejarah Dunia Islam dari Princeton
University di Amerika sudah memegang ketentuan ini, dan masuknya Agama
Islam ke Nusantara ialah di abad yang ke-tujuh, tegasnya di qurun munculnya
Islam pertama.
Akan
tetapi Ulama terdahulu, salah satu yang tertarik mengkaji sejarah masuknya
Islam di Indonesia dan semenanjung melayu adalah Mufti kerajaan Johor Said Ali
bin Taher al-Hadad, mengikuti pendapat bahwa masuknya Agama Islam di Nusantara lebih
awal dari zaman khalifah Yazid bin Mu’awiyah, tepatnya di zaman
kekhalifahan Khalifah yang ke-tiga Usman bin Affan radliyallahu ‘anh. Beliau
menunjukkan referensi buku-buku petunjuk yang berasal dari Museum di Jakarta.
Sehingga salah stu sarjana yang terkenal, Za’ba pada tahun 1956 datang
ke-Jawa dan melakukan penelitian, akn tetapi tidak mendapati buku yang
dijadikan referensi Mufti kerajaan Johor itu.
Malahan
adalagi yang mengatakan menanatu dan juga khalifah yang ke-tiga Ali bin Abu
Thalib, belakangan disebut pernah di utus oleh Nabi Muhammad Saw mengunjungi
Nusantara ini. Akan tetapi pendapat ini terkesan memaksa yang secara ilmiyah belum
bisa dibuktikan.
Memang
dalam Tarikh Islam tidak disebutkan satu-pun ekspedisi yang dikirim ke-khalifahan
resmi ke-Indonesia. Sebab yang datang ke Nusantara bukanlah ekspedisi kan
tetapi personil atau beberap orang saja. Kalaw demikian, sangat dimungkinkan pendapat
yang terakhir akan tetapi bukan sahabat Ali yang diutus. Akan tetapi tidak ada
dari mereka yang datang di Nusantara generasi awal yang wafat di negri ini. Dari
sini sangat dimungkinkan karena mereka berdatangan silih-berganti dan kembali
lagi ketempat asal.
Abad XIII
Penentuan Perebutan Pengaruh Terakhir
Barulah
di akhir abad 13, terjadi perebutan pengaruh yang terakhir antara yang lama
dengan yang baru. 1292 adalah tahun mangkatnya Kertanegara Prabu Majapahit yang
pertama. Yaitu, Baginda yang menggabungkan agama Shiwa dan Budha sebagai agama
kerajaan.
Prabu
Wangi, Prabu Niskalawastu, dan Prabu
Dawaniskala berganti-ganti sebagai penguasa di kerajaan Galuh (Jawa Barat)
dalam keadaan yang tidak tentram lagi.
Akan
tetapi di tahun itu juga, kepala kampung di Negri Pasai (Sekarang: Aceh),
yang bernama Marah Situ, memaklumkan dirinya sebagai Sultan yang pertama
dari kerajaan Islam pertama di Nusantara. Dan jika dilihat pada tahun 1500
Masehi pengaruh Hindu-Budha sudah mulai muram dan pengaruh Islam mulai
gemilang. Sehingga pantaslah jika dikatakan tahun 1300 adalah awal bersy’arnya
Islam dan tahun 1500 adalah tahun kejayaan Agama Islam di Nusantara.
Semoga Tulisan ini menginspirasi kita dalam menjelajah menuju lautan sejarah, besar harapan penulis ini semoga menambah kemanfaatan. Jas-Merah, kata Bapak Prsiden RI yang pertama "Jangan Lupakan Sejarah"