Al-Hamdulillah, hingga saat ini penulis
terus-menerus dianugrahkan kebaikan olehNya, sehingga tangan ini satu-persatu
berjalan menyusuri tombol-tombok kecil, menyisakan coretan yang semoga
bermanfaat ini.
Sesuai dengan judul yang kami tentukan, tulisan
ini membahas tentang fan ilmu Nahwu, membahas pokok pangkal perbedaan antara
Ulama Kufah dan Basrah dalam perspektif permasalahan ‘pokok isim’. Tulisan ini
bermula karena melihat kesemangatan santri-santri atau Mahasiswa dalam memahami
pembahasan Nahwu atau tata cara melafalkan/menulis Bahasa Arab dengan sesuai
ketentuannya.
Penukilan tulisan ini, mengikuti pembahasan al-‘Alim
al-‘Alamah Syaikh Kalamuluddin Abdurrahman bin Abu Sa’d al-Anbary, dalam
kitabnya yang diberi nama al-Ittishaf fi Masaili al-Khilaf bayna Kufah wa
al-Basrah/ rangkuman permasalahan antara Ulama Kufah dan Basrah.
Jelas sudah apa yang dikatakan oleh para guru
mulia di kelas-kelas mereka dalam pengajaran, dan menjadi sebuah pemahaman yang
tidak terbantahkan oleh para santri/Anak didik, bahwa “Ulama Kufah lebih
cenderung kolot dan Ulama Basrah sesuai dengan tempatnya yang serba modern”
kontras yang sangat ini, tentunya juga diterjemahkan dalam perbedaan yang
mencolok diantara kedua belah pihak, bahkan mereka sering terlibat dalam
persaingan dalam pembahasan Nahwu dan Shorof.
Ulama Kufah mengatakan; asal pokok (mustaq)
kalimat al-Isim itu berasal dari, al-Wasm ( الوَسْم ) yang
bermakna sebuah tanda (al-‘alamah). Sedangkan Ulama Basrah mengatakan;
asal pokok (mustqaq) al-Ismu itu berasal dari; al-Simuww ( السِّمُوّ ) yang mempunyai arti; tinggi/berkedudukan
tinggi.
A. Pendapat Ulama Kufah
Dari pendapat diatas Ulama Kufah ber-hujah (membuat
suatu alasan) dengan mengatakan; Pandangan kami tentang kalimat al-Isim
itu berasal dari al-Wasm ( الوَسْم )
adalah karena dilihat secara bahasa kalimat al-Ism bermakna tanda (al-‘alamah),
sedangkan kalimat yang terbentuk dari isim itu menunjukkan tandabenda yang
disebutkan. Kejelasan dari bukti ini bisa anda lihat ketika anda mengatakan ‘Zaid’
atau ‘Umar’ maka yang anda maksud adalah menujukkan tanda bahwa inilah tandanya/ciri-cinya
seseorang yang disebut (Zaid/Umar), dengan menafikan bahwa selain ini bukan
disebut “Zaid/Umar”, atau mengambil kesimpulan bahwa selain yang demikian ini
bukan-lah “Zaid/Umar”.
Jadi menurut pandangan Ulama Kufah, secara
filosofis-pun dapat dirumuskan bahwa suatu nama (al-Ism) atau kalimat
Isim adalah petunjuk/tanda/ciri-ciri untuk seseorang atau suatu benda guna
membedakan antara yang disebut dengan yang lainnya.
Pendapat ini, sebagaimana dilontarkan oleh Abu
al-Abbas Ahmad bin Yahya Tsa’lab[Lihat profinya DI SINI], ia mempertegas bahwa:
“al-Ismu simmatun, tuudla’u ‘alaa sya’i yu’rafu
bihaa”
Isim adalah penyebutan yang sengaja
penentuannya untuk menunjukkan sesuatu
Secara i’lal dapat dirumuskan:
الأصل في
اسم: واسم، إلا أنه خذفت منه فاء الفعل التي هي الواو في وسم، وزيدت الهمزة في أوله
عوضا عن المحذوف. و وزنه : إعلِ لحذف فاء الفعل منه
Asal kalimat ism adalah wasm, akan tetapi mahdzuf fa’ fi’il-nya, yaitu; huruf wawu yang terdapat pada kalimat wasm. Kemudian ditambahkan huruf hamzah diawal kalimat, dengan alasan sebagai pengganti huruf yang mahdzuf. Sedang wazan-nya seperti yang terdapat pada kalimat; i’li
B. Hujah yang digunakan Ulama
Basrah.
Ulama Basrah berpendapat bahwa kalimat isim
berasal dari as-simuww yang memiliki makna tinggi sebagaimana yang
penulis kutip diatas. Adapun hujah yang
menjadi kotruski bangunan pendapat diatas adalah al-ism berasal dari tasrif;
samaa- yasmuu – simuwwan, yang mempunyai makna tinggi, dari ini juga
dipakai asal kalimat as-samaa’ yang bermakna; langit, atau menunjukkan
makna diatas sesuatu yang lebih rendah. Dari makna yang terakhir ini kemudian
berkata Abu Al-Abbas Muhammad bin Yazid Al-Mubarrad:
“al-ismu maa dalla ‘alaa musammaa tahtahu”
isim adalah kalimat yang menunjukkan (titik
lebih tinggi) dari yang disebut dibawahnya.
Agaknya pendapat ini tidak memberikan batasan (ittihad)
pada pendefinisian, akan tetapi pendekatannya lebih ke arah al-istisyqaaq
(menentukan kalimat tertentu) untuk mendefinisikannya. Diantara Ulama Kufah
yang lain ada ber-hujah, alasan isim diserap dari kalimah as-simiww
adalah; perlu diketahui, bahwa kalimah itu memiliki tiga tingkat; tingkatan
isim, fi’il dan huruf. Tiga tingkatan ini dengan pendefisian sbb;
pertama,
kalimah yang dijelaskan dan mampu menjelaskan penjelasan kalimah yang lain,
yaitu; kalimah isim. seperti contoh: الله ربّنا [keduanya adalah kalimah isim, menjadi kalimat
yang dijelaskan yaitu; Allah, dan mampu menjadi kalimah yang menjelaskan,
yaitu; rabbunaa]
kedua,
kalimah yang dijelaskan kalimah yang lain, akan tetapi tidak mampu menjadi
penjelas kalimat yang lain. seperti contoh: ذهب زيدٌ [kalimah fi’il, yaitu; dzahaba
dijelaskan kedudukannya oleh kalimah setelahnya, yaitu kalimah isim,
artinya kejelasan ‘pergi’ dijelaskan bahwa ‘Zaid’lah yang pergi]
ke-tiga,
kalimah yang tidak mampu dijelaskan dan juga tidak mampu menjadi penjelas,
yaitu; kalimah huruf. Inilah kedudukan kalimah yang paling rendah.
Jadi, menilik pada ketiga kedudukan diatas,
maka kalimah isim-lah yang memiliki kedudukan yang paling tinggi, dengan
demikian dapat dipastikan (menurut seseorang yang berpendapat ini) bahwa,
kalimah isim diserap dari mustaq (pokok kalimat) as-simiww
yang bermakna tinggi. Pendapat ini dengan mengambil i’lal sbb;
الإسم،
أصله : سِمْو على وزن فِعل،
بكسرة فاء الفعل وسكون عين الفعل، فخذفت لام الفعل التي هي الواو. وجعلت الهمزة في
أوله عوضا عنها
Asal kalimah isim adalah simwun dengan
mengikuti wazan fi’lun, dengan berharakat kasrah fa’ fi’il dan bersukun ‘ain fi’il,
kemudian makhdzuf lam fi’il-nya, dan
didatangkan hamzah diawal kalimah sebagai penggantinya.
Mushanif kitab memberikan legitimasi bahwa
dalam hal ini pendapat Ulama Basrah yang diunggulkan dengan menampilkan lima
alasan yang mendasar. Akan tetapi minimnya kesempatan hal ini tidak saya
sebutkan.
Dari filosofi diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa seseorang yang mengaku ‘hamba Allah’ sebagai penyebutan untuk dirinya.
Jika mengambil ibrah dari Ulama Basrah maka ia diwajibkan menunjukkan sisi
terbaik dari hamba Allah, dan jika mengikuti Ulama Kufah maka sudah dapat
dipastikan bahwa anda diwajiban menunjukkan titik tertinggi dari hamba Allah.
Hal ini juga berlaku, katakan jika ia disebut si Fulan maka dia harus
menunjukkan sisi terbaik atau tertinggi dari si Fulan itu sendiri, atau mungkin
anda yang bernama; Zaid, Umar, Bakar, Ahmad, Fuad dan lain seterusnya.
Wallahu a’lam, penulis hanya mengambil sisi
hikmah dari pendapat diatas. Tidak selayaknya penulis menjasmen, ini yang baik
dan ini yang buruk, selanjutnya dikembalikan kepada para pembaca yang
dimuliakan Allah.