Katanya
pintu ijtihad dalam istinbath hukum fikih itu telah tertutup. Menurut pengakuan
beberapa Kiai di tanah Jawa. Disisi lain ada yang berpendapat “bukan telah
tertutup”, tapi saking lamanya pintu tersebut tertutup, sehingga sulit untuk
membukanya kembali. Ada juga yang berpendapat; sebenarnya para Kiai (sebutan
Ulama di Jawa) itu telah berijtihad, karena begitu andap-asornya para Kiai Jawa,
sehingga beliau tidak mengatakan ‘saya telah berijtihad’. Ada juga yang nekad,
tanpa memiliki pengetahuan yang memadai, tapi ia bersikukukuh menolak mengikuti
pendapat Ulama yang terdahulu, dengan dalih kembali pada al-Qur’ân dan hadits
nabi.
Untuk
pendapat yang terakhir diatas sangatlah memilukan, namun demikian lah realita
yang ada. Saya teringat pitutur orang jawa“noto manungso ora gampang koyo
noto boto” kalaw diterjemahkan; Menata Umat itu tidak semudah menata batu
bata.
Pendapat
yang penulis petik dibawah ini dari kitab Ulama Syafi’iyah yang mendapat
kedudukan tinggi dan tidak lagi diragukan ke-‘âliman-nya, baik bagi Ulama
sezaman atau Ulama setelahnya, yaitu; Ḫilyatu ‘Ulamâ Fî Madzâhib al-Fuqahâ
karya Imam Qofal, Abu Bakar Muhammad Ibnu Muhammad Asy-Syâsyi. Shahifah; 39
من أصحابنا
من قال: إذا خاف المجتهد فوت العبادة المؤقتة إذا اشتغل بالإجتهاد جاز له أن يقلد
من يعرفه .
وقال محمد
بن الحسن : يجوز للعالم تقليد من هو أعلم منه .
وفرض
العامي التقليد في أحكام الشرع، ويقلد الأعلم الأروع من أهل الإجتهاد في العلم . وقيل:
يقلد من شاء منهم .
فإن اختلف
عليه اجتهادان . فظاهر كلام الشافعي رحمه الله : أن يقلد آمنهما عنده، فإن استويا
في ذلك عنده أخذ بالأشق من قوليهما . وقيل : يأخذ بالأخف .
وفي تقليد
الميت من العلماء فيما ثبت من قوله : وجهان، أظهرهما : جوازه .
Beberapa
Ulama Madzhab Kami ( Madzhab Syafi’iyah), ada yang mengatakan ; Jika seorang
Mujtahid dikhawatirkan habisnya waktu ibadah yang bergantung pada ketentuan
waktu, ketika disibukkan (istighâl) dengan istinbath hukum (ijtihad),maka
baginya diperbolehkan mengikuti hasil ijtihad Ulama (taqlîd) yang
diketahui kealiman-nya.
Muhammad
ibnu Ḫasan mengatakan; Bagi seseorang
yang ‘Âlim diperbolehkan (jawâz) mengikuti hasil ijtihad Ulama lain (taqlîd)
yang dipandang lebih ‘Âlim dari-nya.
Wajib
bagi orang yang bodoh (‘âmiy) mengikuti hasil ijtihad Ulama (taqlîd)
dalam ketentuan hukum syar’i, ia
mengikuti hasil ijtihad Ulama yang lebih ‘âlim dan yang lebih wira’i dari para
Ulama yang Ahli berijtihad dalam ilmu
agama.
Ada beberapa
pendapat Ulama yang menyatakan (qîl) bagi orang yang bodoh (‘âmiy)
boleh mengikuti ijtihad Ulama (taqlîd) kepada siapa saja yang
dikehendaki (tidak memilih mana yang lebih ‘alim dan wira’i).
Jika
dari hasil ijtihad Ulama terdapat perbedaan dua perbedaan pendapat (ikhtilâf),
maka kejelasan pendapat Imam Syafi’i raḫimahulLâh, maka ia mengikuti
pendapat Ulama yang lebih amanah dari keduanya, jika sama-sama amanah maka
dalam permasalahan ini boleh menjadikan pegangan dengan salah satu pendapat
yang ia kehendaki.
Beberapa
Ulama ada yang mengatakan (qîl) berpegang teguh pada pendapat yang lebih
memberatkan dari kedua pendapat tersebut. Ada juga yang mengatakan (qîl)
bersikukuh pada pendapat yang lebih ringan.
Dalam
permasalahan mengikuti hasil ijtihad (taqlîd) kepada Ulama yang telah
wafat, yang telah dikukuhkan dalam suatu pendapat dalam suatu permasalahan hukum,
disini terdapat dua wajah, yang dzahir, hokum-nya boleh (jawaz). WalLâhu
a’lam..
ADS HERE !!!