بسم الله الرحمن الرحيم
كَلَامُنَا لَفْظٌ مُفِيْدٌ
كَاسْتَقِمْ * وَ اسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفٌ الْكَلِمْ
Berkata
Muhammad, yaitu; Ibnu Malik: Aku memuji keharibaan Tuhan, yaitu; Allah Dzat
Yang Maha Memiliki.
Bismillahirrahmȁnir rahîm, (qâla muhammadun):
Berkata al-Imam, al-‘Alâmah Abu
Abdullah, Jamaluddîn, Ibnu
Abdullah, Ibnu Malik yang bernasab ath-Thâ’iy. Bermadhab Syafi’iyah, yang
tinggal di al-Jazany al-Andalusy (Andalusia) Ad-Dimisqy (Damaskus).
beliau wafat pada 12 Sya’ban tahun 672 H, dengan usia 75 tahun.
Lafal: aḫmadu
rabbillâha khaira maliki, bermakna aku memuji keharibaan Tuhan-ku,
yaitu Allah, Dzat Yang Maha Memilik. (Aḫmadu): Menggunakan kalimat Fi’il
Mudlari’, disini menunjukkan makna terus-menerus (al-istimrâr). Asal
dari alḫamdu
lillâh adalah aḫmdu atau ḫamadtu ḫamdallâh,
kemudian kalimat fi’il (aḫmadu) dibuang,
karena sudah mencukupi dengan keberadaan isim masdar yaitu: ḫamdun.
Kemudian dibaca rafa’, supaya menunjukkan makna ad-dawâm (terus menerus) dan ats-tsubût (kelanggengan).
Kemudian dimasukkan al, supaya menunjukkan makna istighrâq (dilebih-lebihkan).
Ar-Rabb,
adalah Dzat Yang Maha Memiliki. Sedangkan lafal Allah Isim ‘Alam,
Yang wajib keberadaan-Nya (Adz-Dzât wâjib
al-wujûd). Yang
Memiliki otoritas penuh atas segala puji, dan tidak ada yang berhak memakai nama
Allah selain Allah, seperti yang
dijelaskan dalam al-Qur’ân al-Karîm: hal
ta’lamu lahu samiyyâ (apakah
kamu mengetahui sesuatupun yang dinamakan Allah selain Allah). Menurut
kebanyakan Ulama Nahwu lafal Allah berakar dari Bahasa Arab. Sedangkan menurut al-‘Ulamâ’
al-muhaqqiqûn (Ulama
Ahli Hakikat), bahwa lafal Allah adalah ismullâh al-a’dzâm (nama Allah Yang Maha Agung).
Didalam al-Qur’an lafal Allah disebutkan sebanyak 2360 kali.
Menurut ijtihad Imam Nawawi, ismullâh
al-A’dzâm (Nama Allah Yang Maha Agung) adalah al-Ḫayyu al-Qayyûm.
Pendapat ini sekaligus mengikuti pendapat otoritas kebanyakan Ulama. Imam Nawawii
juga mengatakan: Oleh karena-nya lafal al-Ḫayyu al-Qayyûm tidak
disebutkan didalam al-Qur’ân al-Karîm
kecuali pada tiga tempat, yaitu; Dalam Surah al-Baqarah, Ali ‘Imrân dan Thâhâ. Wallahu a’lam..
Perlu diperhatikan, Fi’il
Madli yang menggunakan makna mustaqbâl (menunjukkan
makna telah lampau), terkadang mengandung makna peringatan dan terkadang
menunjukkan makna kekuatan kepastian apa yang akan terjadi dalam waktu yang
dekat. Seperti dalam al-Qur’ân al-Karîm: Atâ amrullâhi falâ tasta’jilûh (Pasti
akan datang keputusan Allah, maka janganlah kalian meminta disegerakan).
Susunan kalimat Huwa ibnu
maliki, adalah jumlah mu’taridlah, yang memisahkan antara
kalimat qâla, disini tidak ber-maḫal apapun
jika dilihat dari i’rab-nya (lâ mahalata min al-i’râb).
Lafal: Rabb, ber-i’rab-kan
nashab, yang dikira-kirakan (taqdiry). Jika dilihat dari asalnya
penyusunan kalimat setelah lafal Rabb, ada dlamir ya’ mutakallim
wahdah, dan ya’ tersebut ber-mahal jar, karena menjadi mudlaf
dari lafal Rabb.
Lafal: Allah,
berkedudukan nashab karena
menjadi badal /bayan, dari lafal Rabb. Sedangkan lafal khaira,
ber-i’rab-kan nashab juga
karena berkedudukan sebagai badal atau ḫâl. Lafal
ini menggunakan jumlah khabariyah (menceritakan terjadinya perkara), akan
tetapi mengandung makna insya’iyah (sesuatu yang memang benar-benar
terjadi). Hal serupa dapat dilihat dalam al-Qur’ân al-Karîm: Da’awtu
allâha samî-â (Aku
berdoa kepada Allah Yang Maha Mendengar). Disini lafal samî-‘â, bukan
menceritakan bahwa Allah itu Maha Mendengar, tapi Allah memang benar-benar Maha
Mendengar.
Wallahu A’lam..
ADS HERE !!!