Munajat
Dikegelapan malam. Tidak seperti biasanya. Hasrat untuk
munajat kembali memuncak, nampaknya segala alasan tak diterima oleh nafsu
amarah, yang biasanya gondeli (menghalangi) untuk berbuat baik, termasuk
keinginan bermunajat dimalam itu.
Saya-pun tergopoh-gopoh membagusi wudhu-ku. Allâhu akbar. Tak ketinggalan niat didalam hati,
semat-mata shalat lillâhi ta’alâ – hanya berharap ridla Allah Yang Maha
Pemurah –, saya melanjutkan bacaan wajib, dan meninggalkan bacaan sunah
termasuk membaca doa iftitaḫ.
Bismillâh ar-rahmân ar-rahîm.., entah kenapa, hatiku mulai bergetar. Ubun-ubunku mulai terasa
dingin-memudar, seakan ada yang menunjukiku ini nikmat tuhanmu, itu nikmat
tuhanmu, dan dia menyebut berbagai macam nikmat, termasuk nikmat dapat berdiri
tegak membaca kalam at-thayyibah, diwaktu itu. Lebih jauh.., dia seakan
menghakimiku, melucuti kewibawaanku. Dan aku ingat betul, dia mengatakan “lalu
nikmat mana yang sudah engkau syukuri?”.
Hanya malu yang aku rasakan, aku mengisyaratkan
pandanganku kebawah, nampak gambar masjid yang tak begitu jelas tertutup oleh
cahaya malam. Yang aku rasakan hanya tetesan air mata yang aku tahan. Aku mengelak.
Tapi tak mampu menahan, apalagi dosa-dosa yang nampak jelas bagaikan busur panah
yang menancapi tubuh-tubuhku, sesekali aku berharap “semoga tuhan Sang Pemurah,
memberikan luasNya ampunan”.
Alhamd lil-lâh rabb al-‘âlamîn, segala puji bagi-Mu, ya.. Allah. Tuhan semesta alam. Rupanya airmata-ku
masih hangat membasahi pipi. Entah kenapa ketika teringat lafal “alhamd lil-â..h” sosok guru agung itu membayangiku, aku tak ingat lagi apa itu khusyu’
dalam shalat-ku. Pasalnya beliau mengajariku banyak hal tentang hakikat lafal
yang agung itu. Orang-orang menyebutnya Kiai alhamdulillah.
Ar-rahmân ar-rahîm.., rupanya lafal yang agung itu kembali memusuhiku. Lagi-lagi dia
menusuki jiwaku, melucuti kewibawaan yang selama ini aku agung-agungkan.
Mâlik yawm ad-dîn.., “aduhai andaisaja aku dilahirkan kembali” kalimat itu membayangi jiwaku, aku ingat
betul, bukankah itu ucapan orang-orang kafir ketika nanti di hari pembalasan “yâ laitanî qaddamtu liḫayatî..”. bukankah selama ini tuhanmu selalu tampil dalam sifat rahman rahimNya,
bukankah tuhanmu selalu tampil dalam sifat pengasih dan penyayang-Nya. lalu
bagaimana jika nanti Dia tampil dengan sifat syadîd al-‘iqâb, apakah kamu kuat menahan dahsyat siksaan-Nya. Aku tidak menghiraukan,
sesekali aku ngapusi (menipu) diriku sendiri dengan dengan keagungan
ampunan-Nya... semoga!
Iyyâka na’bud wa iyyâka nasta’în.., kembali aku terus berharap ampunan-rahmatNya. Ya Allah, aku kembali
mengetuk pintu ampunan-Mu, jika engkau menolak kunjungan-ku dalam agungnya rumah
ampunan-Mu, lalu kepada siapa aku memohon? aku akan selalu menunggu, dan tak
kan berhenti mengetuk pintu-Mu, sehingga Engkau membukakan untuk-ku, yang hina
dihadapan-Mu. Karena aku adalah hamba-Mu dan Engkau adalah Tuhan-ku.
Ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm.., Ya Allah, tunjukilah aku hidayah lurus-Mu. Bukan jalan orang-orang yang
Engkau murka kepadanya, dan bukan pula orang-orang yang engkau sesatkan –
menyesatkan diri pada kebenaran – ghair al-maghdûb ‘alaihim wa la ad-dlâllîn... amî..n.
Akupun melanjutkan seperti orang-orang yang sedang
shalat, mulai bertakbir, bertahmid, bershalawat, rukuk, bersujud dan seterusnya,
hingga.., salam.
Tak terasa, gambar masjid itu-pun basah oleh airmataku.
Jum’at, 11/02/2016
ADS HERE !!!