Adakah manusia yang lebih sempurna dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam? sehingga Anda menanyakan apakah Rasulullah itu ummi? Dengan dasar bahwa UMMI adalah sebuah aib atau kekurangan. Bukankah beliau SAW itu ma’shum dan kita sebagai mukalaf wajib meyakini (ber'itiqad) bahwa beliau tidak diragukan kecerdasannya (fathanah)? Artikel ini mencoba menarik benang-merah dari apa yang Anda tanyakan.
Dalam menguraikan masalah ummi ini, Syekh Amin asy-Syanqithi
merekonstruksi pemahaman dari nas al-Qur’an demikian: Bahwa kita tahu jika
permulaan wahyu yang kusus dianugrahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
adalah perintah membaca, lalu mengapa beliau sendiri justru tidak membaca dan menulis?
Syekh Amin meneropong jawaban dari pertanyaan ini melalui dua
sudut pandang:
Pertama, bahwa keummian Nabi SAW merupakan bukti atas kesempurnaan wahyu yang diberikan Allah SWT kepada beliau SAW, di mana kendati beliau
tidak baca-tulis, akan tetapi bisa menjadi pengajar (mu‘allim) serta
penyampai (muballigh) pesan-pesan Ilahi. Allah SWT berfirman:
Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf; seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka kitab dan Hikmah (as-Sunnah). dan sungguh, mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata [al-Jumu’ah: 64: 2]
Kedua, kendati Nabi SAW tidak baca-tulis, bukan berarti
beliau mengabaikan pentingnya belajar baca tulis, akan tetapi sebaliknya, beliau
SAW sangat memperhatikan pentingnya baca-tulis bagi generasi umat Islam. Inilah
keistimewaan berikutnya dari keummian Nabi SAW. Bagaimana seorang yang tidak
membaca-menulis malah men-support umatnya untuk mahir baca-tulis? Bukankah ini
keistimewaan yang tidak ada duanya?
Hal ini telah terbukti dalam sejarah yang tidak mungkin
terbantahkan lagi, bahwa Nabi SAW pada periode Madinah banyak mengangkat juru-tulis
untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an, padahal Nabi SAW sangat mengahafalnya, dan
hafalan itu telah dijamin oleh Allah SWT; bahwa beliau SAW tidak akan pernah
lupa setelah membacanya.
Selain
asy-Syanqithi, di sini kami paparkan juga uraian Imam ar-Razi ketika
menjelaskan sifat ke-ummi-an Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, beliau menyitir
ulang pendapat Imam az-Zajjaj, bahwa yang dikehendaki dengan ummi adalah
kondisi seorang anak saat dilahirkan oleh sang ibu, tidak mempelajari tulisan,
dan tetap seperti itu hingga dewasa. Az-Zajjaj kemudian mengutip sabda Nabi
Muhammad SAW:
“Innaa ummatun ummiyyaat,
laa naktubu wa laa nahsib”
Kita, adalah umat yang
ummi, yang tidak menulis serta tidak menghitung.
Dan, memang faktanya
kondisi kebanyakan orang-orang Arab pada saat itu mampu baca-tulis,
termasuk Rasulullah SAW.
Selanjutnya, ar-Razi merepresentasikan
dari sisi kemukjizatan sifat ke-ummi-an Nabi SAW. Beliau menggarisbawahi
beberapa aspek sbb:
Pertama, kebiasaan para khatib (pengkuhtbah) di zaman
Rasulullah SAW ketika menyampaikan kata-kata dalam khutbahnya kemudian
mengulangi yang kedua kali maka dapat dipastikan antara ucapan yang pertama
dengan ucapan yang kedua akan terjadi perbedaan kata kendati sedikit. Sedangkan
Rasulullah saw, meskipun beliau tidak membaca serta tidak menulis,
ketika beliau menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an, maka sedikitpun tidak akan
terjadi perubahan kata, meskipun beliau membacanya berulang-ulang. Dan inilah
yang membuat orang-orang Arab yakin bahwa apa yang disampaikan Rasulullah saw
tidak mungkin dari beliau sendiri, akan tetapi merupakan mukjizat yang
dijadikan bukti oleh Allah SWT akan kebenaran Rasul-Nya. Hal ini merupakan
isarat dari firman Allah SWT berikut:
Kami
akan membacakan (al-Quran) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa [al-A’laa:
87: 6]
Kedua, andaikan Rasulullah SAW bisa membaca dan menulis,
maka pasti akan memunculkan kecurigaan di hati orang-orang Arab akan ketidak-otentik-an
al-Qur’an. Mereka akan menduga jika Rasullulah SAW telah mempelajari
kitab-kitab orang terdahulu, kemudian disalin dalam bentuk ucapan lain dan
diklaim sebagai ayat-ayat suci al-Qur’an. Akan tetapi hal itu tidak terjadi
sehingga Kafir Quraisy tidak mempunyai celah untuk memunculkan keraguan itu
dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ
مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لاَرْتَابَ الْمُبْطِلُوْنَ
Dan kamu tidak pernah
membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis
suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis),
benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). (QS. Al-Ankabut : 29: 48).
Ketiga, belajar menulis dan belajar membaca merupakan hal yang mudah, bagi
seseorang yang mempunyai bekal kecerdasan sedikit saja, ia tidak perlu butuh
waktu lama untuk bisa baca tulis. Sedangkan Rasulullah SAW oleh Allah SWT telah
diberi pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang terdahulu serta pengetahuan
orang-orang yang akan datang (‘ilmaa al-awwalin, wa al-aakhirin). Meskipun
Rasulullah SAW mempunyai pengetahuan yang demikian tinggi, ternyata sudah umum
di kalangan orang-orang Arab jika beliau tidak membaca-menulis, sebuah
pengetahuan yang bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan bagi seseorang yang tidak
mempunyai kecerdasan. Dari sini sangat tampak sisi mukjizat yang diberikan oleh
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW,
Tabi’r penguat dari
penjelasan tersebut disampaikan An-Nawawi dalam kitab Sarah Shahih Muslim sbb:
(قال ) أي : سالم ( وكان الناس ) أي : العرب ( أميين ) أي :
لقوله تعالىهو الذي بعث في الأميين رسولا منهم قال جمهور المفسرين الأمي من لا
يحسن الكتابة والقراءة ، وقال بعضهم الأمي منسوب إلى الأم ، وقيل إلى أم القرى ،
وهي مكة وعلى التقادير فهو كناية عن عدم الكتابة والقراءة والدراسة والمعرفة بأمور
الحساب والكتاب كما هو حقها فكأنه شبه بالطفل الذي خرج من بطن أمه ولم يعلم شيئا
أو بسكان أم القرى فإنهم مشهورون بأنهم ليسوا أهل كتاب وحساب ، ولا كتابة ، ولا
دراسة قال الخطابي إنما قيل لمن لم يكتب [ ص: 269 ] ولم يقرأ أمي ؛ لأنه منسوب إلى
أمة العرب وكانوا لا يكتبون ، ولا يقرءون ويقال : إنما قيل له أمي ؛ لأنه باق على
الحالة التي ولدته أمه لم يتعلم قراءة ، ولا كتابة ، والحاصل أن كلا من القراءة والكتابة
كانت فيهم قليلة نادرة فإذا لم يتعلموا الكتب ولم يقرءوها حتى يعرفوا حقائق الأمور
، ولا يذهلهم عظائم المحن عند وقوع الفتن فلا جرم تحيروا في أمر موته - صلى الله
عليه وسلم - إذ سبب العلم بجواز موت الأنبياء وكيفية انتقالهم إلى دار الجزاء إنما
هو الممارسة بالمدارسة أو المشاهدة ، ولذا قال ( لم يكن فيهم نبي قبله فأمسك الناس)
والله موافق إلى أقوام الطارق... والله أعلم
بالصواب
Jadi, Kesimpulannya UMMI yang dimiliki Rasulullah
SAW, tidak bersandar pada sebuah kekurangan dari sisi beliau, karena memang
beliau adalah anak zaman, dimasa beliau hidup. Bahkan dari UMMI ini sebagai
nilai plus sebagai pengejawenatahan kemurnia al-Qur’an.
Andai saja, beliau masih hidup dan dari
berkembangnya zaman, sehingga ketidak mampuan menulis-membaca sebuah aib, maka
tulisan dan kejelian akurasi membaca dan ta’wil beliau tidak akan tertandingi oleh
siapapun juga. Karena beliau-lah manusia yang paling sempurna.