Seiring perkembangan zaman,
di Nusantara ini orang-orang mulai lupa atau memang tidak pernah mendengar
kalaw sebenar-nya Pangeran Diponegoro
adalah seorang santri yang ampuh. Zaman dahulu di tanah Jawa ini yang paling
ditakuti oleh Pemerintahan Penjajah Belanda adalah Santri & Thariqah.
|
Patung Pangeran Diponegoro Di Magelang Diambil oleh: Anis Efizuddin. Antara. |
Pernah ada Santri & juga
pengikut Thariqah, nama-nya Abdul Hamid. Ia lahir di Ds. Tegalrejo, Kec
.Tegalrejo, Yogyakarta. Mondok pertama kali di Tegalsari, Jetis, Ponorogo.
Pondoknya bernama Pondok Gebang Tinatar. Waktu itu diasuh oleh Kiai Hasan
Besari, yang juga guru dari Ronggowarsito. Maka jangan heran kalaw ketika
perang melawan rezim penjajah Belanda. Ronggowarsito ikut andil besar dalam
dalam perang Diponegoro (1825 M – 1830 M)
Abdul Hamid juga ngaji kitab
kuning kepada Kiai Taftafani, Kertosuro. Ngaji kitab Tafsir Jalalain kepada
Kiai Baidlawi Bagelelan yang dimakamkan di Gadekan Bantul, Yogyakarta. Terakhir
Abdul Hamid kepada Kiai Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.
Didaerah Eks Karisedenan
Kedu, yaitu daerah Temanggung, Magelang, Wonosobo, Purworejo, dan Kebumen nama
Kiai Nur Muhammad itu yang masyhur ada dua. Pertama Kiai Nur Muhammad
Ngadiwongso, Salaman, Magelang dan satunya lagi Kiai Nur Muhammad Alang-alang
Ombo, yang banyak menurunkan Kiai di daerah Purworejo.
Abdul Hamid sangat pemberani
dalam berperang melawan penjajah Belanda, kurang lebih selama 5 tahun (1825 M –
1830 M). Abdul Hamid wafat dikebumikan di Makasar, dekat Pantai Losari. Abdul
Hamid adalah putra dari Hamengkubuwono ke- III, dari istri Pacitan Jawa Timur.
Abdul Hamid patung-nya memakai jubah, dipasang di alun-alun kota Magelang. Dan
sampai sekarang nama-nya menjadi Kodam Jawa Tengah yang terkenal, yaitu
Pangeran Diponegoro.
Belanda resah menghadapi
perang Diponegoro dalam kurun waktu 5 tahun, uang kas Hidia Belanda habis,
bahkan mereka punya banyak hutang luar negri untuk membiyayai kebutuhan perang
Diponegoro.
Nama asli-nya Abdul Hamid,
dan orang-orang menyebutnya Pangeran Diponegoro, adapun nama lengkap-nya adalah
Kiai Haji Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati
Ing Alongko Sayyidin Pranotogomo Amirul Mukminin Khalifatullah Tanah Jawi
Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong.
|
Patung Pangeran Diponegoro Di Goa Selarong |
Jika anda pergi ke- Magelang
dan melihat kamar Diponegoro, di Eks Karesidenan Kedu istilah sekarang di
Bakorwil, ada tiga peninggalan Diponegoro. Al-Qur’an, Tasbih, dan kitab Taqrib
(Syarh Fathul Qarib).
Kenapa Al-Qur’an? Diponegoro
adalah seorang Muslim. Kenapa tasbih? Diponegoro adalah seseorang yang Ahli
dzikir, dan bahkan penganut Thariqah.
Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan mengatakan bahwa
Diponegoro seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah. Selanjutnya yang ketiga, Taqrib
matan Abu Syuja’, yaitu kitab kuning yang dipakai di pesantren bermadzhab
Syafi'i.
Jadi Pangeran Diponegoro itu bermadzhab Syafi’iyah. Maka, karena
bermadhazhab Syafi’iyah, Diponegoro shalat Tarawih 20 rakaat, shalat Shubuh
memakai doa Qunut, Jum’atan adzan dua kali, termasuk shalat Ied-nya di Masjid,
bukan di lapangan.
Saya sangat menghormati dan menghargai orang yang berbeda madzhab
dan pendapat. Akan tetapi, tolong, sejarah sampaikan apa adanya. Jangan
ditutup-tutupi bahwa Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’iyah. Tiga tinggalan
Pangeran Diponegoro ini tercermin dalam pondok pesantren.
Dulu ada Tokoh Pendidikan Nasional yang bernama Douwes Dekker.
Siapa itu Douwes Dekker? Dia adalah Danudirja Stiabudi. Mereka yang belajar
sejarah pasti tahu Douwes Dekker itu orang Belanda yanag sengaja dikirim ke-
Indonesia untuk merusak bangsa kita.
Namun ketika Douwes Dekker berhubungan dengan para Kiai dan Santri,
mindset-nya berubah, yang semula ingin merusak kita justeru bergabung dengan
pergerakan bangsa kita. Bahkan kadang-kadang Douwes Dekker, semangat
kebangsaannya melebihi bangsa kita sendiri. Douwes Dekker pernah berkata dalam
bukunya:
“Kalau tidak ada Kiai dan Pondok Pesantren, maka patriotisme bangsa
Indonesia sudah hancur berantakan”.
Siapa yang berbicara? Douwes Dekker, orang yang belum pernah
nyantri di Pondok Pesantren. Seumpanya yang berbicara saya, pasti ada yang
berkomentar: "Hanya biar pondok pesantren laku." Tapi kalau yang
berbicara orang luar, ini temuan apa adanya, tidak dibuat-buat. Maka,
kembalilah ke pesantren.
Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) itu juga santri. Tidak
hanya Diponegoro anak bangsa yang dididik para Ulama menjadi Tokoh Bangsa.
Diantaranya, di Jogjakarta ada seorang Kiai bernama Romo Kiai Sulaiman Zainudin
di Kalasan Prambanan, belaiu punya santri banyak, salah satunya bernama Suwardi
Suryaningrat.
Suwardi Suryaningrat ini kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi
Bapak Pendidikan Nasional yang terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Jadi,
Ki Hajar Dewantara itu santri, ngaji, murid seorang Kiai.
Sayangnya, sejarah Ki Hajar mengaji Al-Quran tidak pernah
diterangkan di sekolah-sekolah, yang diterangkan hanya Ing Ngarso Sun Tulodo,
Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Itu sudah baik, namun belum
komplit. Belum utuh.
Maka nantinya, untuk rekan-rekan guru, mohon diterangkan bahwa Ki
Hajar Dewantara selain punya ajaran Tut Wuri Handayani, juga punya ajaran
Al-Quranu Al-Karim.
Sayyid Husein Al-Mutahhar adalah cucu nabi yang patriotis.
Malah-malah, ketika Indonesia merdeka, ada sayyid warga Kauman Semarang yang
mengajak bangsa kita untuk bersyukur. Sang Sayyid tersebut menyusun lagu
Syukur. Dalam pelajaran Sekolah Dasar disebutkan Muthahar. Padahal itu adalah
Habib Husein Al-Mutahar yang menciptakan lagu Syukur. Beliau adalah Pakdenya
Habib Umar Muthahar SH Semarang. Jadi, yang menciptakan lagu Syukur yang kita
semua hafal adalah seorang sayyid, cucu baginda Nabi Saw.
Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karuniaMu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
Ke hadiratMu tuhan.
Lagu itu yang menyusun cucu Nabi, Sayyid Husein Muthahar, warga
Kauman Semarang. Akhirnya oleh pemerintah waktu itu diangkat menjadi Dirjen
Pemuda dan Olahraga.Terakhir oleh pemerintah dipercaya menjadi Duta Besar di
Vatikan, negara yang berpenduduk Katholik. Di Vatikan, Habib Husein tidak larut
dengan kondisi, malah justeru membangun masjid. Hebat. Malah-malah, Habib
Husein Muthahar menyusun lagu yang hampir se-Indonesia hafal semua.
Suatu ketika Habib Husein Muthahar sedang duduk, lalu mendengar adzan
shalat Dzuhur. Sampai pada kalimat hayya 'alasshalâh, terngiang suara adzan.
Sampai sehabis shalat berjamaah, masih juga terngiang.
Akhirnya hatinya terdorong untuk membuat gubahan lagu yang
cengkoknya mirip adzan, ada “S”nya, ada “A”nya, dan “H”nya. Kemudian pena
berjalan, tertulislah:
17 Agustus tahun 45
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka Nusa dan Bangsa
Hari lahirnya Bangsa Indonesia
Merdeka
Sekali merdeka tertap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia, tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia, tetap setia
Membela Negara kita.
Maka peran para Kiai dan para Sayyid tidak sedikit dalam pembinaan
patriotisme bangsa. Raden Ajeng Kartini juga seorang santri putri. Beliau
berguru pada Kiai Shaleh Darat semarang, bahkan beliaulah yang meminta Kiai
Shaleh untuk menerjemahkan Al-Qur’an kedalam Bahasa Jawa.
Jadi, Anda jangan ragu jika hendak mengirim anak-anaknya ke pondok
pesantren.
Malahan, Bung Karno, ketika mau membaca teks proklamasi di
Pegangsaan Timur Jakarta, minta didampingi putra Kiai. Tampillah putra seorang
kyai, dari kampung Batuampar, Mayakumbung, Sumatera Barat. Siapa beliau? H.
Mohammad Hatta putra seorang Kiai. Bung Hatta adalah putra Ustadz Kiai Haji
Jamil, Guru Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah.
Sayang, sejarah Bung Hatta adalah putra Kiai dan putra penganut
Thariqah tidak pernah dijelaskan di sekolah, yang diterangkan hanya Bapak
Koperasi. Mulai sekarang, mari kita terangkan sejarah dengan utuh. Jangan
sekali-kali memotong sejarah.
Jika Anda memotong sejarah, suatu saat, sejarah Anda akan dipotong
oleh Allah Swt.
Akhirnya, Bung Hatta menjadi wakil presiden pertama. Pesan Penting
Bagi Santri, Belajar dari Mbah Mahrus Aly. KH. Mahrus Aly Lirboyo pernah dawuh:
“Nek ngaji kok nempel wongtuo, ora temu-temuo.”
(Jika mengaji masih bersama dengan orangtua, tidak akan cepat
dewasa). Maka masukkanlah ke pesantren, biar cepat dewasa pikirannya.
Itu yang ngendiko (berkata) Kiai Mahrus Lirboyo, Kediri.
Semua konten ini dinukil
dari pidato Kiai Chalwani Nawawi Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Mursyid
Thariqah Qadiriyah-Naqsabandi. Pernah nyantri di Pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta, dan Pesantren Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, dalam Tahni’atul ‘Ied
Ke-14, Ikatan Santri Kebumen(Iktrimen), Pondo Pesantren An-Nawawi Berjan,
Gebang, Purworejo, bersama masyarakat Binangun, Jatimulyo, Kuwarsan, Kebumen,
Jawa Tengah, 11 Agusutus 2015/ 26 Syawal 1436H.
|
Kiai Chalwani Nawawi |
Dialih tuliskan oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun, karena saya
melihat, dan mencermati kontennya yang sangat menarik kemudian tergugah hati
saya untuk menyerasi bahasakan Al-Faqir ila rahmatilLȁh