K.H. Zainal Abidin adalah pendiri sebuah pondok
pesantren di Desa Talokwohmojo, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora, pada tahun
1900, dan di sana sekarang menjadi basis penggemblengan Tarekat terbesar di
Kabupaten Blora.
|
Makam KH. Zainal Abidin Beserta Keluarga
|
Berawal dari tokoh agama berjuluk Longko Pati
dari desa Nganguk Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Bersama istrinya, mereka pindah
dari kota Pati ke kota Blora, tepatnya di Banjarwaru Kec. Ngawen Kab. Blora,
tanpa diketahui alasannya. Di sinilah lahir seorang putra bungsu bernama Zainal
Abidin yang dalam perkembangannya mempunyai kecakapan ilmu agama. Kemahiran
ilmu agamanya menimbulkan ketertarikan seorang hartawan di desa Talokwohmojo
hingga suatu ketika Zainal Abidin dinikahkan dengan salah seorang putrinya bernama
Haminah. Dari pernikahan inipun membawa babak baru dalam sejarah Desa
Talokwohmojo.
Melihat potensi anak menantunya, ayah mertua
Zainal Abidin memberikan sebidang tanah seluas satu hektar di bilangan desa
Talokwohmojo untuk mengajarkan dan mengembangkan ilmu agama. Pada tahun 1900,
di atas tanah pemberian mertuanya, dibangun sebuah langgar kecil untuk salat
berjamaah warga sekitar. Selain berjamaah langgar itu juga dijadikan tempat
belajar Alquran sekaligus kitab-kitab kuning. Itu sebabnya, tempat ini lebih
dikenal sebagai pondok pesantren.
Pada tahun-tahun berikutnya Zainal Abidin tidak
hanya mengajarkan ilmu fikih dan ilmu Alquran saja, sebab pada tahun 1908 ia
resmi diangkat sebagai mursyid tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah. Artinya beliau
telah mendapatkan izin mengajar dan mem-baiat para santri tarekat di Desa
Talokwohmojo pada khususnya dan warga desa sekitar pada umumnya.
Pelajaran tarekat itu didapatkan dari salah
seorang mursyid Tareqat Naqsabandiyah Khalidiyah bernama K.H Ahmad Rowobayan,
Padangan, Kabupaten Bojonegoro, ujung barat propensi Jawa Timur. Mulai tahun
tersebut terdapat dua corak pendidikan agama; fikih-salaf dan tasawuf-tarekat.
Pesantren itu merupakan pondok pesantren pertama dan tertua, serta satu-satunya
pondok pesantren tarekat di kota Blora.
Dari pernikahan dengan Haminah beliau mendapatkan
sembilan anak dengan perincian anak laki-laki berjumlah enam dan anak perempuan
berjumlah tiga. Beliau dinikahkan dengan murid guru tarekatnya bernama Ruqayyah
setelah istri pertamanya meninggal dunia. Dengan Ruqayah beliau mendapatkan
tiga putra dan putri. Kemudian pada tahun 1922 K.H Zainal Abidin menghadap
Allah Swt.
Periode selanjutnya pondok salaf dan tarekat di
pegang oleh putra pertama dari istri pertama, K.H Ahmad Hasan. Pada masa ini
pondok sempat mengalami guncangan saat menghadapi penjajah, terutama penjajah
Jepang. Tindakan represif di alamatkan pada pondok pesantren tersebut, hingga
pada akhirnya K.H Ahmad Hasan wafat pada tahun 1942.
Sepeninggal K.H Ahmad Hasan, adiknya, K.H Ismail,
meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Beliau adalah putra putra kedua dari
ibu pertama pendiri pondok tersebut. Beliau murid kesayangan dari K.H Kholil
Kasingan Rembang dan juga sempat berguru kepada Hadratus Syekh K.H Hasyim
Asyari di Tebuireng. Di tangan K.H. Islamil tersebut pondok mengalami
perkembangan pesat, santri dari luar kota mulai berdatangan. Selain tempat
persinggahan, pondok tersebut juga digunakan sebagai tempat perlindungan para
ulama, pejabat dan masyarakat. Tercatat dalam sejarah pada tahaun 1948 terjadi
pemberontakan PKI pertama. Pondok tersebut menjadi tempat perlindungan
ulama-ulama dan pejabat pemerintahan dari ancaman PKI. Akhir September pada
tahun tersebut Blora dapat dikuasai oleh PKI Muso dan dalam waktu singkat
membentuk pemerintahan baru.
Para pejabat dan ulama mendapatkan ancaman bahkan
aksi pembantaian. Bupati Blora dan tokoh-tokoh yang lain di bantai oleh PKI
pada saat itu. Demikian pula saat agresi militer belanda yang kedua pada tahun
1949. Pondok Pesantren tersebut juga pernah menjadi markas pertahanan para tentara
dan sukarelawan sewaktu melawan Belanda. K.H Ismail wafat tahun 1956.
Pada periode ini kepemimpinan diserahkan kepada
putra mantu dari putri dari istri kedua K.H Zainal Abidin, yakni K.H Nahrowi.
Mulai dari periode ini terdapat pemisahan pengelolaan pondok syariat dan
tarekat. K.H Nahrowi mengelola pondok tarekat dan pondok syariat di serahkan
pada putra bungsu K.H Zainal Abidin, yaitu K.H Abbas. Pada periode tersebut
muncul inisiatif untuk memberikan nama pondok pesantren dengan nama Mambaul
Huda. Dalam memegang pondok syariat, K.H. Abbas dibantu K Rosikhin, Putra dari
K.H Nahrowi. Namun pada tahun 1976 K.H Abbas wafat dan sepuluh tahun kemudian
menyusul K.H Nahrowi.
Sepeninggal K.H. Abbas, pondok syariat dipegang
oleh K.H Ali Ridlo, yang juga menantu K.H Abbas, sedangkan sepeninggal K.H
Nahrowi pondok tarekat diserahkan kepada putranya, K.H Musthofa Nahrowi. Beliau
merupakan merupakan mursyid Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah yang di baiat oleh
ayahnya sendiri. Meskipun banyak perkumpulan pengajian tarekat semisal
Syadziliyah dan Qodiriyah, di Blora hanya ada satu mursyid yaitu muryid yang
ada di Pondok Pesantren Mambaul Huda. Sekarang, corak pendidikan yang ada di
sana bukan hanya syariat dan tareqat, namun juga telah mengikuti kurikulum
negara.
|
Para santri putri yang berada di Pondok Pesantren Mamba’ul Huda
Talokwohmojo Kecamatan Ngawen mendapat pelatihan teknik dasar menulis dari
redaksi Koran harian Suara Merdeka
|
Hingga, sekarang pondok pesantren Manbaul Huda
berkembang pesat dan memiliki berbagai corak keragaman bidang study pembelajaran
tarbiyah Islamiyah, mulai dari santri tareqoh, Tahfidzul Qur’an, Fikih bahkan
sampai pendidikan formal.
SUMBER: Wikipedia Indonesia, dan disarikan oleh Ulinuha Asnawi
ADS HERE !!!